★ motivasikehidupan68.blogspot.com
Rasanya, sudah
sangat sering kita membahas istilah percaya diri alias pede. Tak terbilang
forum yang digelar hanya untuk masalah yang satu ini. Lantas ada apa gerangan
jika dua kata ini masih terus juga dibahas. Tak cukupkah forum yang ada selama
ini? Jangan-jangan persoalannya selesai hanya di tingkat wacana. Tak ada
langkah konkritnya. Kalau sudah begini, cape
deh.
Karena persoalan
ini bisa menimpa siapa saja di level individu, masyarakat bahkan bangsa ini,
maka dalam tulisan ringkas ini, mari kita selami percaya dirikah kita
sesungguhnya? Lalu, bagaimana sesungguhnya menumbuhkan dan memelihara rasa
percaya diri? Agar mantap lagi berkah, semua ini kita selami dalam perspektif
Islam. Sebab, hanya Islam yang mampu membuat percaya diri yang sejati.
Terlebih lagi,
karena umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini sudah seharusnya memiliki
kontribusi positif yang signifikan bagi upaya perbaikan keadaan ke arah yang
lebih baik.
Open
Mind : Sudah Percaya
Dirikah Kita?
Saudaraku, perasaan
apa yang terlintas dalam benak kita jika membaca informasi di bawah ini?
Produktivitas
SDM. Nilai output rata-rata pekerja Indonesia (dan Filipina) = 8 jam.
Thailand 2 jam 45 menit, Malaysia 1 jam 5 menit, Singapura 11 menit (David J
Lamotte, ILO, 2005).
Kualitas SDM
berdasarkan Human Development Index (HDI).
Indonesia berada pada urutan ke-109 dari 174 negara (UNDP, 2000), urutan ke-112
dari 175 negara (UNDP, 2002) dan urutan ke-110 dari 177 negara (UNDP, 2003).
Peringkat Daya
Saing Global. Indonesia berada pada posisi ke-59 dari survei terhadap 60
negara, di bawah Singapura (3), Thailand (27) dan Malaysia (28) (IMD World Competitiveness Yearbook,
2005).
Ah, tak ada
perasaan yang paling tepat selain menunjukkan sikap keprihatinan yang mendalam.
Yap, sangat boleh jadi, kita memang sedang dihinggapi kemiskinan pede. Peri
kehidupan kita sehari-hari telah dihiasi oleh karakter miskin pede, seperti
berikut ini :
Sulit menerima
realita diri dan memandang rendah kemampuan diri sendiri.
Selalu
memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai diri tidak mampu,
padahal kita sesungguhnya mampu dan belum mencobanya.
Tak berani
menentukan sikap yang benar secara benar dan karenanya berusaha menunjukkan
sikap kompromi, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan
kelompok/masyarakat.
Tak berani
menyampaikan kebaikan karena menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap
penolakan.
Pesimis, mudah
menilai segala sesuatu dari sisi negatif yang berujung pada munculnya sikap
pragmatis, lebih baik mengikuti arus sekalipun hal itu bertentangan dengan
prinsip dan hukum syara.
Takut gagal,
sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk
berhasil, padahal Rasulullah SAW mengkritik orang yang takut gagal dan merasa
tidak mampu. Beliau pernah menganjurkan : “Berusahalah sekuat tenaga untuk meraih apa
yang bermanfaat bagimu dan janganlah sekali-kali merasa lemah. Dan mintalah
tolong kepada Allah” (Al Hadist).
Akhirnya, kita
punya external locus of control (mudah
menyerah pada nasib, sangat tergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan
serta bantuan orang lain).
Saudaraku, baiklah,
tak perlu diperdebatkan, karena yang terpenting kita perlu bersepakat untuk
memperbaiki keadaan.
Menumbuhkan
Ke-pede-an Sejati.
Saudaraku,
ke-pede-an sejati berakar pada aqidah yang kokoh dan produktif, bertumbuh dan
berkembang dalam koridor hukum syara, dan akan menghasilkan kebangkitan yang
hakiki, permanen dan mantap. Sebaliknya ke-pede-an semu berakar, bertumbuh dan
berkembang pada norma dan etika umum yang belum tentu sejalan dengan aqidah dan
hukum syara, dan tentu saja akan menghasilkan kebangkitan yang semu, kadang
naik kadang turun dan emosional.
Di sinilah kita
jadi mengerti betapa pentingnya peran Islam, Dien kita yang rahmatan lil
alamin. Apalagi, kondisi sebagian besar umat saat ini agaknya juga sedang
terjerembab dalam lembah ketidak-pede-an bersama sebagaimana fakta kasus di
depan. Nah, kalau begitu mari kita selami. Ada tiga langkah sederhana
menumbuhkan ke-pede-an sejati.
Pertama, Mengenali hakikat diri kita yang sesungguhnya.
Dengan pencermatan
yang dalam, ketidak-pede-an adalah efek dari ketidakberanian kita untuk
menghadirkan rasa percaya diri. Ketidakberanian ternyata disebabkan oleh
ketidakkenalan kita terhadap hakikat diri kita yang sesungguhnya : Siapa kita?
Darimana kita berasal? Untuk apa kita hidup di dunia? Dan akan kemana kita
setelah mati?
Dengan Islam, kita
akan menemukan jawaban yang sesungguhnya, bahwa kita adalah manusia hamba Allah
yang diciptakan Allah, hidup di dunia hanya untuk beribadah kepada Allah dan
pada akhirnya akan kembali kepada Allah. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan
dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (QS Al A’raf : 172)
Karena Islamlah
satu-satunya Dien yang memberikan jawaban secara aqliyah dan sesuai dengan
fitrah kita sebagai manusia, maka dengan sendirinya, hakikat diri kita tak lain
dan tak bukan adalah keber-Islam-an kita itu sendiri. Saudaraku, hakikat diri
memang menjadi akar bagi tumbuhnya pohon percaya diri yang benar dan kuat.
Maka, hanya ada dua pilihan bagi kita, kenali hakikat diri yang dengannya kita
akan memiliki pohon percaya diri yang rindang, menyejukkan lagi kuat atau tidak
kenal hakikat diri yang dengannya pohon percaya diri kita tumbang tak bersisa.
Kedua, terimalah hakikat diri kita secara mantap.
Secara individu,
penerimaan yang mantap terhadap keber-Islam-an kita akan meneguhkan kepercayaan
diri yang akan menebarkan biji-biji ke-pede-an bagi individu lainnya. Secara
komunal di masyarakat, penerimaan yang mantap terhadap keber-Islam-an kita akan
meneguhkan kepercayaan diri masyarakat untuk sadar, mau dan mampu mengubah
nasib ke arah hidup yang berkah dan m ulia sesuai kehendak Islam. “Sesungguhnya
Allah tidak mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah nasibnya
sendiri.” (Ar Ro’du : 11). Dengan
begini, baik secara individu maupun secara bersama-sama :
Kita berani
menerima realita diri. Dengan berpikir dan bersikap positif, kekurangan diri
diubah menjadi kekuatan diri yang dahsyat.
Kita berani
menentukan sikap yang benar secara benar.
Kita berani
menyampaikan kebaikan tanpa menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap
penolakan.
Tak lagi pesimis
dan pragmatis.
Berani mengambil
resiko dan memasang target keberhasilan dengan selalu bertawakkal pada Allah.
Yakin akan
kemampuan diri dan mau mencobanya.
Kita punya internal locus of control (memandang
keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri, mandiri dan
pantang menyerah).
Ketiga, kenali dan bakar habis sindrom ’trapped in a comfort zone’ yang
melekat pada diri.
Sindrom inilah yang
sering menghambat penumbuhan dan keberlangsungan rasa percaya diri. Sindrom ini
berupa rasa kemapanan dan kenyamanan yang dengannya kita jadi enggan untuk
berubah lebih baik. Ada dua jenis sindrom yang harus kita waspadai dan
hancurkan. Yang pertama, sindrom yang bersifat paradigmatik, yakni pola pikir
dan pola sikap kita yang sekuler.
Inilah sindrom
ganas yang berasal dari way of life sekulerisme.
Sebuah paham (ideologi) memisahkan agama (Islam) dari kehidupan (Qutb, 1986; An
Nabhani, 1953). Way of life inilah
yang membawa darah kotor kapitalistik pada tatanan ekonominya, racun
oportunistik pada perilaku politiknya, obat bius hedonistik pada budayanya,
kuman individualistik pada kehidupan sosialnya, borok sinkretistik pada sikap
beragamanya, dan hawa materialistik pada sistem pendidikannya. Saudaraku, dapat
kita bayangkan bagaimana mungkin kita dapat percaya diri, jika seluruh peri
kehidupan kita disandarkan pada way of
life rusak semacam ini.
Itulah sebabnya,
dapat kita mengerti, mengapa MUI menegaskan keharaman sekulerisme, berikut
saudara kembarnya pluralisme dan liberalisme dalam fatwanya tahun 2005 lalu.
Maka, hancurkan pola pikir dan pola sikap sekuler yang masih menjalar pada diri
kita. Gantikan dengan Islam sebagai satu-satunya pola pikir dan pola sikap
kita. Setuju? Harus itu. Yang kedua, sindrom fungsional, yang kerap menyergap.
Sindrom ini adalah sindrom 4L1M alias Lessu Lellah Lettih Lemmah n Mualles.
Dengan pola pikir dan pola sikap Islami, kita bisa menghadapi sindrom
fungsional ini. Bagaimana caranya? Mudah saja. Tangkis saja dengan senjata
Ta’awudz plus Konsentrasi sembari melempar senyum. Minumlah pil Islam Kaffah.
Lalui hari demi hari dengan 6 at : Tekad
Bulat… Kerja Taat … Belajar Giat … Mengkaji Islam dengan Hebat … Badan Sehat …
Makan ‘Ngembat’ (maksudnya makan dan ngemil yang bermanfaat, halal dan
thoyyib).
Nah, buat Anda yang
tengah menggapai rasa percaya diri sejati, cobalah. Insya Allah.